Difteri
Pengertian
Difteria atau difteri adalah penyakit infeksi bakteri yang biasanya memengaruhi membran (selaput) lendir pada hidung dan tenggorokan. Difteri menyebabkan tenggorokan serak, demam, pembengkakan pada kelenjar, tubuh menjadi lemah dan didapati lembaran kental, berwarna abu-abu yang menutupi bagian belakang tenggorokan dan dapat menutupi saluran udara, serta menyebabkan kesulitan bernapas.
Difteri dapat diobati, tetapi infeksi difteri yang sudah memasuki tahap serius dapat merusak jantung, ginjal dan sistem saraf, sehingga dapat menyebabkan kematian.
3% orang yang terkena difteri berujung pada kematian. Anak-anak dibawah 15 tahun, berisiko lebih tinggi terjangkit infeksi difteri. Penularan difteri antar individu dapat dicegah melalui penggunaan vaksin.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2017 di Indonesia terjadi kejadian luar biasa (KLB) difteri, tercatat 593 kasus difteri dengan angka kematian mencapai 32 kasus. 66% diantaranya, terjadi akibat pasien tidak diimunisasi. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Muhammad Subuh menyatakan, “dari 34% yang sudah diimunisasi, sebanyak 31% melakukan imunisasi kurang lengkap dan 3% lainnya mendapatkan imunisasi lengkap.
Penyebab dan faktor resiko
Bakteri Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri penyebab difteri, menyebar melalui kontak antar individu atau melalui kontak dengan benda-benda atau makanan yang mengandung bakteri di dalamnya (seperti cangkir atau tisu bekas) dan melalui udara (saat orang yang terinfeksi bersin atau batuk, partikel bakteri akan tersebar ke udara).
Apabila orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala difteri dan tidak diberikan perawatan yang tepat, mereka masih dapat menularkan infeksi bakteri hingga 6 minggu setelah infeksi awal.
Orang-orang dalam kelompok dibawah ini, beresiko lebih tinggi untuk dapat terinfeksi difteri. Yaitu:
- Memiliki kelainan sistem kekebalan tubuh, seperti AIDS
- Hidup dalam kondisi yang tidak bersih atau ramai (padat penduduk)
- Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi secara berkala atau bahkan tidak mendapatkan imunisasi sama sekali (terutama anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lansia diatas usia 60 tahun),
- Kunjungi lokasi wabah difteri atau mengunjungi negara-negara yang tidak memberikan imunisasi difteri.
Gejala difteri
Gejala difteri umumnya akan muncul 2-5 hari setelah terinfeksi terjadi.
Beberapa orang tidak mengalami gejala apapun, sementara yang lain memiliki gejala ringan yang mirip dengan flu biasa.
Gejala difteri yang umumnya terlihat atau dapat dirasakan, antara lain:
- Sakit kepala
- Panas dingin
- Tidak enak badan
- Sakit tenggorokan
- Sengau atau bindeng
- Bicara menjadi cadel
- Demam dengan suhu 38°C
- Kulit kebiruan atau timbul ruam kulit
- Pembengkakan kelenjar pada leher
- Bisul besar yang berwarna merah dan kulit terasa sakit
- Lapisan kental berwarna abu-abu di pangkal tenggorokan
- Bintik yang berisi nanah pada kaki, telapak kaki, dan tangan
- Kesulitan bernapas dan menelan (pembengkakan kelenjar getah bening)
- Munculnya tanda-tanda syok (kulit pucat dan dingin, berkeringat, dan detak jantung yang cepat).
Gejala pada bayi
Gejala awal difteri yang muncul pada bayi biasanya berupa:
- Lemah dan lesu
- Sakit tenggorokan ringan dan demam tinggi
- Kesulitan bernapas atau bernapas dengan cepat
- Pembengkakan kelenjar limfa pada bagian leher
- Hidung mengeluarkan lendir bahkan sesekali darah
Gejala pada anak-anak
Setelah terinfeksi difteri, anak-anak berpeluang menularkan penyakit ke orang lain selama 4 minggu kedepan dan memiliki waktu 2-4 hari sebelum merasakan gejala-gejalanya. Gejala difteri pada anak-anak dapat berupa:
- Bicara yang tidak jelas
- Munculnya pandangan ganda
- Sulit menelan bahkan bernapas
- Demam ringan dengan leher terlihat bengkak.
- Selaput putih di tenggorokan yang mudah berdarah
- Tanda-tanda syok (kulit pucat dan dingin, berkeringat, dan detak jantung yang cepat).
- Racun difteri akan menyebar dari tenggorokan ke seluruh tubuh lewat aliran darah.
Racun ini dapat merusak sistem kerja dari organ-organ vital, seperti jantung, ginjal.
Komplikasi
Difteri dapat menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi penyakit, yaitu:
Kerusakan Jantung
Racun difteri dapat menyebabkan komplikasi seperti kelumpuhan pada otot jantung., gagal jantung dan kematian seketika.
Kerusakan Saraf
Racun difteri juga dapat menyebabkan kerusakan saraf. Seperti sulit menelan dan kelumpuhan akibat otot yang melemah. Masalah Pernapasan
Toksin atau racun yang dihasilkan dari terjadinya infeksi difteri dapat merusak area yang terinfeksi (umumnya di area hidung dan tenggorokan). Infeksi memproduksi lendir kental berwarna abu-abu yang terdiri dari sel mati, bakteri dan zat lain. Lapisan lendir ini dapat mengganggu pernapasan atau bahkan akan kesulitan bernafas tanpa bantuan respirator atau alat lain yang membantu pernapasan.
Diagnosa
Seperti pada umumnya setiap diagnosa akan dilakukan oleh dokter dengan menanyakan riwayat kesehatan, menanyakan gejala, dan melakukan pemeriksaan fisik untuk memeriksa pembengkakan kelenjar getah bening. Apabila diperlukan dokter juga akan melakukan tes tambahan (pemeriksaan laboratorium) dengan mengambil sampel dari jaringan yang terinfeksi.
Apabila terlihat adanya lapisan abu-abu di tenggorokan atau amandel, kemungkinan besar orang tersebut (baik anak-anak maupun orang dewasa) terinfeksi difteri. Tes tambahan dapat dilakukan dokter dengan mengambil sampel dari jaringan yang terinfeksi dan mengujinya di laboratorium.
Pengobatan
Difteri adalah kondisi serius, sehingga dokter mungkin menyarankan penderita difteri untuk melakukan rawat inap agar dapat diberikan perawatan yang cepat, agresif dan untuk mengurangi resiko penularan pada orang lain. Orang yang melakukan kontak dengan penderita difteri juga harus mengonsumsi antibiotik atau mendapatkan vaksinasi difteri.
Obat-obatan dan perawatan yang dapat diberikan oleh dokter baik untuk orang dewasa, anak-anak maupun pada bayi untuk mengatasi difteri, antara lain:
Pemberian injeksi antitoksin
Antitoksin dapat menangkal racun yang diproduksi oleh bakteri.
Pemberian obat antibiotik
Antibiotik dapat membunuh bakteri, contoh obat antibiotik yang umumnya diberikan seperti erythromycin atau penicillin yang dapat membantu membersihkan infeksi.
Membersihkan luka di bagian kulit yang terinfeksi
Perawatan biasanya berlangsung selama 2-3 minggu. Bisul pada kulit umumnya sembuh dalam 2-3 bulan, tetapi akan meninggalkan bekas luka.
Pencegahan
Difteri dapat dicegah dengan penggunaan antibiotik dan vaksin difteri (DTaP). Vaksin difteri biasanya diberikan bersamaan (dalam satu injeksi) dengan vaksin tetanus dan pertusis (infeksi bakteri pada paru-paru dan saluran pernapasan).
Vaksinasi difteri, tetanus dan pertusis adalah imunisasi anak yang disarankan sejak kecil, dan dilakukan secara berkala pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan dan 4-6 tahun. Anak-anak di usia 12 tahun dan orang dewasa di sarankan untuk mendapatkan suntikan booster diphtheria-tetanus-pertussis gabungan (booster ini dilakukan hanya 1 kali). Vaksin tetanus-diphtheria (Td) akan diberikan setiap 10 tahun sekali, setelah suntikan booster.
Efek samping yang mungkin terjadi pada anak-anak setelah mendapatkan vaksinasi antara lain demam ringan, merasa tidak nyaman atau rewel, mengantuk atau kelelahan, gatal, reaksi alergi dan kejang. Namun komplikasi ini dapat diatasi. Anak dengan epilepsi atau gangguan saraf lain tidak disarankan untuk mendapat vaksin DtaP.
Referensi:
SehatQ: Difteri: https://www.sehatq.com/penyakit/difteri
Centers for disease control and prevention: Diphtheria: https://www.cdc.gov/diphtheria/index.html